“Serumpun padi
tumbuh di sawah, hijau menguning daunnya”.
Sepenggal lirik lagu ini sering saya dendangkan bersama teman bermain di
area persawahan puluhan tahun silam.
Ada yang masih ingat lagu ini?
Pagi ini, tanpa sengaja aku melihat dan mendengarnya di
salah satu stasiun TV. Hamparan sawah
yang terbentang luas menghijau, bulir-bulir padi yang bergerak tak beraturan,
melambai tertiup angin sepoi. Tampak
area persawahan itu berhias orang-orangan dengan beragam model, amat menyejukkan
hati siapa saja yang melihatnya.
Pemandangan ini sangat identik dengan pedesaan. Ditambah dengan alunan lagu “Serumpun Padi”, cukup menggugah hati
untuk mengenang kembali kampung halaman sekaligus melirik bagaimana kehidupan
petani sebagai insan yang berperan utama dalam penyedia pangan di negeri ini.
Ada perasaan aneh yang menggiring hadirnya senyum orang
yang berdiri dan terpaku depan TV.
Andaikan saya adalah pemeran dalam film kartun, mungkin kaki ini sudah
memanjang sepersekian meter menembus kaca TV. Lalu berjalan diantara rumpun-rumpun
padi dan mencoba menghirup udara segar
disekitarnya. Atau mungkin aku telah
berubah wujud menjadi wanita tani dengan kekuatan super hero yang dengan
bangganya bisa merubah produktivitas lahan yang kurang produktif menjadi lahan
yang bisa menghasilkan produksi pertanian yang berlimpah ruah. (saat
ini kita sedang memasuki DUNIA HAYAAALLL hahahaa....).
Sebenarnya tak
perlu berhayal seperti ini, cukup nyetop pete-pete (angkot) lalu berangkat ke kampung halaman, trus ke sawah, bertani,
selesai!. Simple kan...??. Tapi, kenyataannya waktu jualah yang
membatasi setiap gerak langkah manusia.
Tuntutan pekerjaan menjadi perioritas utama kemungkinan tertundanya
setiap rencana mudik sampai akhirnya
tidak kesampaian. Hal inilah yang kerap
kali menjadi alasan sebagian banyak orang untuk menunda pulang kampung saat rindu kampung halaman, saat rindu
akan serumpun padi.
Acungan jempol buat stasiun TV yang sering-sering
menayangkan kehidupan di desa, terutama kehidupan seorang petani yang berjuang
sebagai penyuplai pangan untuk kita semua.
Cobalah kita cermati, bagaimana perjuangan seorang petani. Berangkat pagi-pagi bahkan subuh dari rumah
berbekal makanan seadanya untuk bekerja seharian di sawah.
Ada yang tertumbuk dalam pikiranku, entah kenapa petani
di desa rata-rata berusia tua. Kemana
petani muda..??. inilah mungkin yang
wajib menjadi PR buat kita semua, Minimnya penghasilan petani, mengharuskan
pemuda desa banyak yang hijrah ke ibu kota dan memilih beralih profesi. Pemuda desa lebih memilih menjadi buruh
harian, atau profesi lain diluar dunia pertanian.
Lantas....??? jika petani tua sudah tidak mampu bekerja
dan sawah-sawah tidak lagi produktif, atau
lahan pertanian bergeser menjadi bangunan-bangunan yang bertingkat tinggi. Apakah kita cukup siap untuk bergantung
kepada swasembada pangan dari negara lain...? YES......or ......NO
L
betul kak,,
BalasHapussekarang stasiun TV cum arafi ahmad terussss
rasa mau buang TV hahaha,,
setuju kak , seandainya misal kalau libur
para pemuda ke desa bantu petani tua
daripada pergi balapan atau pergi demo
Tontonan tak berkelas xixixiii....
HapusMiris hati saya melihat petani di kampungku say, blom lagi klo gagal panen. duh kasihan bangaet
Dulu zaman aku kecil (eaaaa) adanya cuman TVRI dan dikasih tayangan pedesaan terus. Acara kuis juga nggak jauh jauh dari Tani, klo nggak salah dulu namanya klompen capir apa ya..... (duh, ketahuan umurnya)
BalasHapusHahahaa.. benar mbak. Artinya kita seumuran 😁
HapusHahahaa.. benar mbak. Artinya kita seumuran 😁
Hapus